Kalau
ada yang bisa menilai siapa orang yang paling bahagia di dunia saat ini, pasti
“Aku” jawabannya. Hari ini aku dan Alex akan di wisuda untuk menyempurnakan
gelar kami S.S dengan didampingi keluarga kami masing-masing. Keluarga besarku
yang terdiri dari ayah, ibu, serta saudara-saudaraku hadir melengkapi
kebahagiaanku. Kebahagiaan ini semakin sempurna karena hari ini Keluarga besar
Alex dan keluarga besarku bertemu. Keduanya memberikan sinyal yang sangat baik
tentang kelanjutan hubunganku dengan Alex. Sebelum hari ini, aku sendiri memang
sudah sangat dekat dengan keluarga Alex, itu dikarenakan orang tua Alex sering mengunjungi
Alex. Aku selalu diajak menemui mereka. Sedangkan orang tuaku mengenal Alex
lebih banyak hanya dari ceritaku. Mereka jarang sekali bertemu secara lansung.
Namun demikian keluargaku percaya bahwa Alex adalah orang baik yang bertanggung
jawab dan dapat membahagiakan aku.
Sebelum
kami berpisah seusai acara wisuda ibu Alex sempat mengatakan kepada orang tuaku
bahwa mereka akan segera bertandang ke rumah kami di Blitar. Tentu saja aku
dengan cepat menyetujuinya, meskipun aku tahu tanggapan dari ayah atau ibu yang
mereka harapkan. Ayah geleng-geleng kepala sedangkan ibuku hanya tersenyum
melihat sikapku. Adikku yang memang selalu iseng segera merespon “ Mbok ya yang
agak JAIM dikit tow, mbak. Kayak orang udah kebelet kawin saja kau ini”
celetuknya cengigisan. Tentu saja semua orang yang mendengar tertawa. Malu juga
aku dibuatnya.
Hari
berganti hari, tak terasa satu bulan sudah aku berada di rumah. Aku belum
mempunyai kesibukan yang terlalu menyita waktu. Karena aku memang belum berniat
mencari pekerjaan. Sementara hubunganku dengan Alex tetap berjalan baik
meskipun kami berada di kota yang berbeda. Hari ini Alex dan keluarganya akan
datang ke rumah untuk melamarku. Meskipun aku sudah mengenal mereka dan hal ini
memang sudah direncanakan, namun tetap saja aku merasa deg-degan. Aku ingin
hari ini segera berlalu. Rupanya bukan hanya aku yang tidak tenang melainkan keluargaku
juga menanti dengan perasaan bahagia berbaur sedikit rasa cemas berharap agar
acara kami hari ini dapat berlangsung dengan lancar tanpa ada halangan sekecil
apapun.
Jam
dinding menunjukkan pukul 13.00 WIB. Seharian ini entah sudah berapa kali aku
menelpon Alex sekedar untuk menanyakan sampai di mana dan bagaimana keadaan
mereka. Tiba- tiba telepon rumah berdering, aku bergegas mengangkatnya. Benar
saja, sesuai dengan yang aku harapkan, Alex menelpon untuk memberi tahu bahwa
mereka sudah memasuki wilayah Blitar. Aku merasa sangat senang. Setelah menutup
telepon aku segera memberi tahu orang tuaku bahwa sebentar lagi keluarga Alex
akan sampai. Aku bergegas mandi, aku ingin terlihat segar ketika menyambut
tamu-tamu istimewaku nanti.
Puji
Tuhan, akhirnya mereka datang. Ucapku dalam hati. Terlihat wajah-wajah bahagia
keluar dari mini bus itu. Mereka tidak terlihat capek meskipun baru saja
menempuh perjalanan jauh. Setelah kami mempersilahkan masuk, kami terlibat
perbincangan ringan dengan suasana penuh kehangatan. Kami bersyukur karena doa
dan harapan kami terkabul. Meskipun cukup sederhana, acara lamaran memberi
kesan yang sangat luar biasa. Hubungan kekeluargaan yang sangat akrab terasa
begitu sempurna. Masih kuingat dengan
jelas pesan yang diucapkan Alex sebelum dia meninggalkan aku untuk kembali ke
Solo bersama keluarganya. “Mulai sekarang jagalah hatimu hanya untukku. Tutup
semua celah yang memungkinkan orang lain bisa masuk ke dalamnya. Aku pun akan
melakukan hal yang sama untukmu” itulah kalimat yang terdengar begitu indah di
telingaku. “Kamu tidak perlu ragu tentang hal itu karena aku telah melakukan
semua itu jauh sebelum hari ini tiba. Aku sangat mencintaimu dan aku percaya
kamu” itulah jawaban yang aku berikan padamu. Aku merasa hari ini dunia
benar-benar menjadi milikku dan Alex.
Hari-hariku
menjadi semakin indah sejak aku dan Alex resmi bertunangan, bahkan tanggal
pernikahan kami sudah ditentukan. Terhitung dua bulan dari hari pertunangan
kami, tepatnya tanggal 25 Maret 2010. Bagiku 2 bulan bukanlah waktu yang lama
untuk menyambut hari istimewa dalam hidupku itu. Aku ingin pesta pernikahanku
berjalan dengan sempurna sesuai dengan yang aku bayangkan. Itulah sebabnya aku
benar-benar sibuk menyiapkan gaun pengantin, memilih perias pengantin, bahkan
undangan sudah aku pesan dan siap diambil tiga hari lagi. Untuk masalah kue dan
gedung telah aku serahkan kepada adikku, Wina. Kadang aku merasa malu sendiri
dengan semangatku yang begitu menggebu-gebu tentang pernikahanku ini. Mungkin
benar anggapan Wina bahwa aku memang sudah kebelet kawin.
Hari ini tanggal
14 Februari 2010, artinya hari yang aku tunggu-tunggu itu hanya tinggal 3
minggu lagi. Hari yang disebut-sebut sebagai “Valentine Day” oleh para remaja
ini juga menjadi hari yang sangat istimewa bagiku dan Alex. Di hari inilah Alex
menyatakan cintanya padaku. Kami selalu merayakannya meskipun hanya dengan
makan-makan di lesehan pinggir jalan. Itulah mengapa aku sangat menanti dan
menerka-nerka kejutan apa yang akan diberikan Alex padaku hari ini. Mungkinkah
dia akan datang ke rumah dengan tiba-tiba? Atau mungkinkah dia akan mengirimkan
paket romantis untukku? Atau jangan-jangan dia hanya akan menelponku sekedar
mengucapkan “happy anniversary, sayang” ? pikiranku terus menerka-nerka
seenaknya. Lamunanku segera terhenti ketika telepon rumah berdering. Aku tidak
langsung mengangkatnya karena aku yakin itu bukan Alex yang menelpon. Karena
selama ini dia selalu telepon ke nomor Hpku. Namun karena tak juga ada yang
mengangkat telepon yang tetap berdering itu, akhirnya aku pun beranjak untuk
mengangkatnya. “Halo” Aku mulai pembicaraan telepon ini. Entah mengapa
tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman menjalar dalam hatiku. Tak ada jawaban yang
kudengar, tapi samar-samar aku mendengar suara isak tangis diujung telepon.
“Halo, maaf saya berbicara dengan siapa ini?” sekali lagi aku mencoba
mencairkan suasana. “ Sita, ini aku Desi” suara wanita yang terisak menjawab
pertanyaanku. Aku terdiam mencoba mengingat nama yang terasa familiar di
telingaku. “Desi siapa ya?” akhirnya aku menyerah untuk bisa mengingatnya. “Aku
Desi teman Alex. Tolong aku, Sita. Tolong aku.” suara wanita itu semakin
terisak bahkan terdengar agak histeris. Perasaanku semakin cemas dan tak
karuan. Ya, aku mengenalnya meskipun tidak bisa dikatakan akrab. “ Iya, kamu
tenang dulu, Desi. Aku pasti bantu jika aku bisa.” Aku mencoba menenangkannya
meskipun jantungku sendiri berdegup semakin kencang. Aku dan Desi bukanlah dua
sahabat yang selalu beragi cerita atau masalah. Bahkan bisa dikatakan aku tidak
mengenal dia kecuali aku hanya tahu namanya saja, tidak ada yang lain. Sangat
aneh jika sekarang tiba-tiba dia menelpon sekedar untuk curhat tentang masalah
pribadinya. Bahkan aku sempat ingin menanyakan dari mana dia mendapat nomor
telpon rumahku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa
seperti ada firasat buruk. “Aku...aku..aku... Ha...mil, Sita.” Jawab Desi
dengan suara terbata-bata. Entah apa yang kurasakan ini. Meskipun aku yakin
masalah ini sama sekali tidak ada kaitannya denganku, aku merasa tak ingin tahu
lebih jauh lagi. Aku ingin segera mengakhiri percakapan ini. Mungkin karena aku
merasa bahwa dia bukanlah temanku. “Lalu apa yang bisa aku bantu? Mengapa kamu
berpikir aku orang yang bisa membantumu?” mulutku tetap menanggapinya meskipun
hatiku tidak ingin melakukannya. Mungkin karena aku merasa kasihan kepadanya. “Ini
anak Alex, Sita! Ini anak Alex! Dia tidak mau menikahiku karena dia tidak bisa
menyakitimu.” Kalimat Desi membuat tubuhku terasa tak bertulang. Aku merasa
bumi berhenti berputar dan langit runtuh tepat dikepalaku. Dadaku begitu sesak
sampai-sampai aku tidak bisa bernafas. Jantungku juga terasa berhenti berdetak.
Tuhan, sudah kiamatkah dunia ini? Tubuhku yang begitu lemas tiba-tiba seperti
mendapat kekuatan dahsyat sehingga mampu kembali berdiri tegak. Ya, rasa marah
yang dengan cepat memenuhi dada dan juga pikiranku mampu membuatku kembali
berbicara dengan lantang, “ Alex benar, dia tidak mungkin menyakitiku karena
dia memang sangat mencintaiku. Bahkan kami akan segera menikah dalam waktu
dekat ini. Aku tahu Alex sangat mencintaiku dan sampai sekarang aku masih
percaya itu. Jadi maaf, karena aku tidak bisa membantumu. Apapun yang terjadi
kepadamu sama sekali bukanlah urusanku” kalimat itu aku lontarkan dengan nada berteriak.
Aku segera menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari Desi. Aku bergegas
berlari ke kamarku. aku menangis dengan sejadi-jadinya seperti anak kecil yang
di rebut mainannya. Syukurlah saat ini tidak ada orang di rumah. Bapak dan Ibu
sedang bekerja sementara Wina entah sedang pergi ke mana.
Aku ingin menelpon
Alex. Tapi aku takut mengetahui kebenaran yang mungkin akan aku dengar dari
dia. Tidak, aku akan melupakan apa yang dikatakan Desi. Aku tidak mengenal dia.
Jadi tidak mungkin pernikahanku akan batal hanya karena telepon dari orang yang
tidak jelas itu. Tidak ada yang terjadi hari ini. Aku harus konsentrasi dengan
pesta pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Aku berusaha keras untuk
menenangkan diriku sendiri. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa apa yang baru
saja aku dengar hanyalah telepon iseng yang tidak perlu ditanggapi. Aku harus
melupakannya. Tidak ada yang perlu aku tanyakan kepada Alex ataupun yang harus aku
ceritakan kepada keluargaku. Namun usahaku sia-sia. Semakin aku berusaha keras
mengabaikan apa yang dengar tadi hatiku semakin sedih dan hancur. Apakah Alex
benar-benar mengkhianatiku? Mengapa aku begitu mudah percaya dan terpengaruh
dengan cerita Desi?
Aku tidak tahu
bagaimana menceritakan masalah yang aku hadapi kepada keluargaku. Entah
bagaimana reaksi mereka seandainya mereka tahu semua ini. Persiapan pesta
pernikahanku sudah hampir selesai. Para tetangga dan juga sanak saudara sudah
dimintai bantuan tenaga. Aku tidak bisa membayangkan betapa malu seluruh
keluargaku jika pernikahan ini sampai dibatalkan.
Aku benar-benar
tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku yang selama ini tidak pernah ke
masjid, akhir-akhir ini banyak menghabiskan waktu di sana. Aku merasa hanya
Tuhan yang mau dan mampu menolongku saat ini. Hari ini aku bertemu Mbak Umi di
masjid. Mbak Umi adalah putri dari Pak
Kyai Dahlan. Dia adalah sosok gadis lembut yang penuh wibawa. Entah apa yang
membuatku memutuskan untuk menceritakan semua masalah yang kuhadapi kepadanya.
Mungkin karena aku sudah tidak sanggup lagi memendam perasaan ini. Aku tidak
bisa melupakan percakapan kami tadi. Kata-kata mbak Umi memenuhi pikiranku. “Apa yang harus aku lakukan, Mbak?” tanyaku
seusai menceritakan semua dan berharap mendapat jawaban yang memuaskan darinya.
“ Apakah Dik Sita ingin benar – benar bahagia?” tanya Mbak Umi dengan begitu
lembut. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. “ Kalau begitu maafkan dia.”
Dengan sangat ringan dia memberikan jawaban yang membuatku kecewa. “ Mbak Umi
bisa berbicara seperti itu dengan gampang karena mbak Umi tidak pernah
mengalaminya.” Dengan emosi aku merespon nasehatnya. “ Mungkin itu benar, Dik.
Tapi cobalah renungkan baik-baik, jika kamu akhirnya menikah dengan Alex,
yakinkah kamu akan bahagia? Dapatkah kamu melupakan dan menerima kesalahannya
ini dalam hidupmu? Kalaupun kamu yakin bisa, tegakah kamu melihat ada wanita
lain yang menderita diatas kebahagiaanmu? Jika suatu hari nanti anak yang
dikandung wanita itu datang kepadamu meminta ijin untuk sekedar tahu ayah
kandungnya, bisakah kamu bayangkan perasaanmu saat itu?” tutur Mbak Umi dengan
tenang dan tanpa memikirkan perasaanku.” Tapi semua itu karena kesalahannya
sendiri yang tidak bisa menjaga diri sebagai wanita. Mengapa harus aku dan
keluargaku yang menanggung akibatnya, Mbak?” aku maih tetap menentangnya. Mbak
Umi tersenyum sambil berkata “Dik Sita tidak perlu memutuskannya sekarang.
Pulanglah dulu, dan pikirkan nanti di rumah. Pikirkanlah baik-baik alasan Dik
Sita mempertahankan Alex saat ini, apakah karena Dik Sita benar-benar
mencintainya, ataukah karena Dik Sita terlanjur mempersiapkan pernikahannya,
atau mungkin karena alasan-alasan lainnya. Apa pun nanti keputusan Dik Sita,
ingatlah kebahagiaan hanya akan tercipta dari pernikahan yang diniatkan ibadah
dan di dasari cinta yang tulus.” kata Mbak Umi mengakhiri percakapan kami.
Sepanjang hari
aku tidak bisa mengabaikan pembicaraanku dengan mbak Umi. Semua kata-katanya
memenuhi pikiranku. Aku merasa semua yang diucapkan Mbak Umi benar. Saat ini
aku mempertahankan Alex semata-mata karena aku marah kepada Desi dan juga Alex
sehingga aku tidak rela mereka bahagia. Terlintas dalam bayanganku seorang
wanita yang merawat anaknya sendiri, sementara aku mempunyai suami yang telah
mengkhianati kepercayaan dan kesetiaanku. Betapa bodohnya aku jika aku tetap
menikah dengan Alex hanya karena alasan ini. Ya, aku akan ke Solo untuk
menyampaikan keputusanku kepada keluarga Alex di Solo. Aku yakin mereka pasti
bisa mengerti. “Tuhan, tolong aku untuk tidak menangis di hadapan mereka nanti.
Beri aku kekuatan dan keberanian untuk menyampaikan keputusanku ini kepada
keluargaku di sini. Beri kami kekuatan untuk menghadapi apa kata dunia kepada
kami. Hapus rasa sakit, dendam, dan marahku ini dengan kedamaian juga
kebahagiaan.” Doa-doa yang terlantun dalam hati ini perlahan-lahan memberi rasa
damai dalam jiwaku.
No comments:
Post a Comment