Sunday 17 May 2015

Kisah Yang Terpenggal



Kalau ada yang bisa menilai siapa orang yang paling bahagia di dunia saat ini, pasti “Aku” jawabannya. Hari ini aku dan Alex akan di wisuda untuk menyempurnakan gelar kami S.S dengan didampingi keluarga kami masing-masing. Keluarga besarku yang terdiri dari ayah, ibu, serta saudara-saudaraku hadir melengkapi kebahagiaanku. Kebahagiaan ini semakin sempurna karena hari ini Keluarga besar Alex dan keluarga besarku bertemu. Keduanya memberikan sinyal yang sangat baik tentang kelanjutan hubunganku dengan Alex. Sebelum hari ini, aku sendiri memang sudah sangat dekat dengan keluarga Alex, itu dikarenakan orang tua Alex sering mengunjungi Alex. Aku selalu diajak menemui mereka. Sedangkan orang tuaku mengenal Alex lebih banyak hanya dari ceritaku. Mereka jarang sekali bertemu secara lansung. Namun demikian keluargaku percaya bahwa Alex adalah orang baik yang bertanggung jawab dan dapat membahagiakan aku.
Sebelum kami berpisah seusai acara wisuda ibu Alex sempat mengatakan kepada orang tuaku bahwa mereka akan segera bertandang ke rumah kami di Blitar. Tentu saja aku dengan cepat menyetujuinya, meskipun aku tahu tanggapan dari ayah atau ibu yang mereka harapkan. Ayah geleng-geleng kepala sedangkan ibuku hanya tersenyum melihat sikapku. Adikku yang memang selalu iseng segera merespon “ Mbok ya yang agak JAIM dikit tow, mbak. Kayak orang udah kebelet kawin saja kau ini” celetuknya cengigisan. Tentu saja semua orang yang mendengar tertawa. Malu juga aku dibuatnya.
Hari berganti hari, tak terasa satu bulan sudah aku berada di rumah. Aku belum mempunyai kesibukan yang terlalu menyita waktu. Karena aku memang belum berniat mencari pekerjaan. Sementara hubunganku dengan Alex tetap berjalan baik meskipun kami berada di kota yang berbeda. Hari ini Alex dan keluarganya akan datang ke rumah untuk melamarku. Meskipun aku sudah mengenal mereka dan hal ini memang sudah direncanakan, namun tetap saja aku merasa deg-degan. Aku ingin hari ini segera berlalu. Rupanya bukan hanya aku yang tidak tenang melainkan keluargaku juga menanti dengan perasaan bahagia berbaur sedikit rasa cemas berharap agar acara kami hari ini dapat berlangsung dengan lancar tanpa ada halangan sekecil apapun.
Jam dinding menunjukkan pukul 13.00 WIB. Seharian ini entah sudah berapa kali aku menelpon Alex sekedar untuk menanyakan sampai di mana dan bagaimana keadaan mereka. Tiba- tiba telepon rumah berdering, aku bergegas mengangkatnya. Benar saja, sesuai dengan yang aku harapkan, Alex menelpon untuk memberi tahu bahwa mereka sudah memasuki wilayah Blitar. Aku merasa sangat senang. Setelah menutup telepon aku segera memberi tahu orang tuaku bahwa sebentar lagi keluarga Alex akan sampai. Aku bergegas mandi, aku ingin terlihat segar ketika menyambut tamu-tamu istimewaku nanti.
Puji Tuhan, akhirnya mereka datang. Ucapku dalam hati. Terlihat wajah-wajah bahagia keluar dari mini bus itu. Mereka tidak terlihat capek meskipun baru saja menempuh perjalanan jauh. Setelah kami mempersilahkan masuk, kami terlibat perbincangan ringan dengan suasana penuh kehangatan. Kami bersyukur karena doa dan harapan kami terkabul. Meskipun cukup sederhana, acara lamaran memberi kesan yang sangat luar biasa. Hubungan kekeluargaan yang sangat akrab terasa begitu sempurna.  Masih kuingat dengan jelas pesan yang diucapkan Alex sebelum dia meninggalkan aku untuk kembali ke Solo bersama keluarganya. “Mulai sekarang jagalah hatimu hanya untukku. Tutup semua celah yang memungkinkan orang lain bisa masuk ke dalamnya. Aku pun akan melakukan hal yang sama untukmu” itulah kalimat yang terdengar begitu indah di telingaku. “Kamu tidak perlu ragu tentang hal itu karena aku telah melakukan semua itu jauh sebelum hari ini tiba. Aku sangat mencintaimu dan aku percaya kamu” itulah jawaban yang aku berikan padamu. Aku merasa hari ini dunia benar-benar menjadi milikku dan Alex.
Hari-hariku menjadi semakin indah sejak aku dan Alex resmi bertunangan, bahkan tanggal pernikahan kami sudah ditentukan. Terhitung dua bulan dari hari pertunangan kami, tepatnya tanggal 25 Maret 2010. Bagiku 2 bulan bukanlah waktu yang lama untuk menyambut hari istimewa dalam hidupku itu. Aku ingin pesta pernikahanku berjalan dengan sempurna sesuai dengan yang aku bayangkan. Itulah sebabnya aku benar-benar sibuk menyiapkan gaun pengantin, memilih perias pengantin, bahkan undangan sudah aku pesan dan siap diambil tiga hari lagi. Untuk masalah kue dan gedung telah aku serahkan kepada adikku, Wina. Kadang aku merasa malu sendiri dengan semangatku yang begitu menggebu-gebu tentang pernikahanku ini. Mungkin benar anggapan Wina bahwa aku memang sudah kebelet kawin.
Hari ini tanggal 14 Februari 2010, artinya hari yang aku tunggu-tunggu itu hanya tinggal 3 minggu lagi. Hari yang disebut-sebut sebagai “Valentine Day” oleh para remaja ini juga menjadi hari yang sangat istimewa bagiku dan Alex. Di hari inilah Alex menyatakan cintanya padaku. Kami selalu merayakannya meskipun hanya dengan makan-makan di lesehan pinggir jalan. Itulah mengapa aku sangat menanti dan menerka-nerka kejutan apa yang akan diberikan Alex padaku hari ini. Mungkinkah dia akan datang ke rumah dengan tiba-tiba? Atau mungkinkah dia akan mengirimkan paket romantis untukku? Atau jangan-jangan dia hanya akan menelponku sekedar mengucapkan “happy anniversary, sayang” ? pikiranku terus menerka-nerka seenaknya. Lamunanku segera terhenti ketika telepon rumah berdering. Aku tidak langsung mengangkatnya karena aku yakin itu bukan Alex yang menelpon. Karena selama ini dia selalu telepon ke nomor Hpku. Namun karena tak juga ada yang mengangkat telepon yang tetap berdering itu, akhirnya aku pun beranjak untuk mengangkatnya. “Halo” Aku mulai pembicaraan telepon ini. Entah mengapa tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman menjalar dalam hatiku. Tak ada jawaban yang kudengar, tapi samar-samar aku mendengar suara isak tangis diujung telepon. “Halo, maaf saya berbicara dengan siapa ini?” sekali lagi aku mencoba mencairkan suasana. “ Sita, ini aku Desi” suara wanita yang terisak menjawab pertanyaanku. Aku terdiam mencoba mengingat nama yang terasa familiar di telingaku. “Desi siapa ya?” akhirnya aku menyerah untuk bisa mengingatnya. “Aku Desi teman Alex. Tolong aku, Sita. Tolong aku.” suara wanita itu semakin terisak bahkan terdengar agak histeris. Perasaanku semakin cemas dan tak karuan. Ya, aku mengenalnya meskipun tidak bisa dikatakan akrab. “ Iya, kamu tenang dulu, Desi. Aku pasti bantu jika aku bisa.” Aku mencoba menenangkannya meskipun jantungku sendiri berdegup semakin kencang. Aku dan Desi bukanlah dua sahabat yang selalu beragi cerita atau masalah. Bahkan bisa dikatakan aku tidak mengenal dia kecuali aku hanya tahu namanya saja, tidak ada yang lain. Sangat aneh jika sekarang tiba-tiba dia menelpon sekedar untuk curhat tentang masalah pribadinya. Bahkan aku sempat ingin menanyakan dari mana dia mendapat nomor telpon rumahku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa seperti ada firasat buruk. “Aku...aku..aku... Ha...mil, Sita.” Jawab Desi dengan suara terbata-bata. Entah apa yang kurasakan ini. Meskipun aku yakin masalah ini sama sekali tidak ada kaitannya denganku, aku merasa tak ingin tahu lebih jauh lagi. Aku ingin segera mengakhiri percakapan ini. Mungkin karena aku merasa bahwa dia bukanlah temanku. “Lalu apa yang bisa aku bantu? Mengapa kamu berpikir aku orang yang bisa membantumu?” mulutku tetap menanggapinya meskipun hatiku tidak ingin melakukannya. Mungkin karena aku merasa kasihan kepadanya. “Ini anak Alex, Sita! Ini anak Alex! Dia tidak mau menikahiku karena dia tidak bisa menyakitimu.” Kalimat Desi membuat tubuhku terasa tak bertulang. Aku merasa bumi berhenti berputar dan langit runtuh tepat dikepalaku. Dadaku begitu sesak sampai-sampai aku tidak bisa bernafas. Jantungku juga terasa berhenti berdetak. Tuhan, sudah kiamatkah dunia ini? Tubuhku yang begitu lemas tiba-tiba seperti mendapat kekuatan dahsyat sehingga mampu kembali berdiri tegak. Ya, rasa marah yang dengan cepat memenuhi dada dan juga pikiranku mampu membuatku kembali berbicara dengan lantang, “ Alex benar, dia tidak mungkin menyakitiku karena dia memang sangat mencintaiku. Bahkan kami akan segera menikah dalam waktu dekat ini. Aku tahu Alex sangat mencintaiku dan sampai sekarang aku masih percaya itu. Jadi maaf, karena aku tidak bisa membantumu. Apapun yang terjadi kepadamu sama sekali bukanlah urusanku” kalimat itu aku lontarkan dengan nada berteriak. Aku segera menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari Desi. Aku bergegas berlari ke kamarku. aku menangis dengan sejadi-jadinya seperti anak kecil yang di rebut mainannya. Syukurlah saat ini tidak ada orang di rumah. Bapak dan Ibu sedang bekerja sementara Wina entah sedang pergi ke mana.
Aku ingin menelpon Alex. Tapi aku takut mengetahui kebenaran yang mungkin akan aku dengar dari dia. Tidak, aku akan melupakan apa yang dikatakan Desi. Aku tidak mengenal dia. Jadi tidak mungkin pernikahanku akan batal hanya karena telepon dari orang yang tidak jelas itu. Tidak ada yang terjadi hari ini. Aku harus konsentrasi dengan pesta pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Aku berusaha keras untuk menenangkan diriku sendiri. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa apa yang baru saja aku dengar hanyalah telepon iseng yang tidak perlu ditanggapi. Aku harus melupakannya. Tidak ada yang perlu aku tanyakan kepada Alex ataupun yang harus aku ceritakan kepada keluargaku. Namun usahaku sia-sia. Semakin aku berusaha keras mengabaikan apa yang dengar tadi hatiku semakin sedih dan hancur. Apakah Alex benar-benar mengkhianatiku? Mengapa aku begitu mudah percaya dan terpengaruh dengan cerita Desi?
Aku tidak tahu bagaimana menceritakan masalah yang aku hadapi kepada keluargaku. Entah bagaimana reaksi mereka seandainya mereka tahu semua ini. Persiapan pesta pernikahanku sudah hampir selesai. Para tetangga dan juga sanak saudara sudah dimintai bantuan tenaga. Aku tidak bisa membayangkan betapa malu seluruh keluargaku jika pernikahan ini sampai dibatalkan.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku yang selama ini tidak pernah ke masjid, akhir-akhir ini banyak menghabiskan waktu di sana. Aku merasa hanya Tuhan yang mau dan mampu menolongku saat ini. Hari ini aku bertemu Mbak Umi di masjid.  Mbak Umi adalah putri dari Pak Kyai Dahlan. Dia adalah sosok gadis lembut yang penuh wibawa. Entah apa yang membuatku memutuskan untuk menceritakan semua masalah yang kuhadapi kepadanya. Mungkin karena aku sudah tidak sanggup lagi memendam perasaan ini. Aku tidak bisa melupakan percakapan kami tadi. Kata-kata mbak Umi memenuhi pikiranku.  “Apa yang harus aku lakukan, Mbak?” tanyaku seusai menceritakan semua dan berharap mendapat jawaban yang memuaskan darinya. “ Apakah Dik Sita ingin benar – benar bahagia?” tanya Mbak Umi dengan begitu lembut. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. “ Kalau begitu maafkan dia.” Dengan sangat ringan dia memberikan jawaban yang membuatku kecewa. “ Mbak Umi bisa berbicara seperti itu dengan gampang karena mbak Umi tidak pernah mengalaminya.” Dengan emosi aku merespon nasehatnya. “ Mungkin itu benar, Dik. Tapi cobalah renungkan baik-baik, jika kamu akhirnya menikah dengan Alex, yakinkah kamu akan bahagia? Dapatkah kamu melupakan dan menerima kesalahannya ini dalam hidupmu? Kalaupun kamu yakin bisa, tegakah kamu melihat ada wanita lain yang menderita diatas kebahagiaanmu? Jika suatu hari nanti anak yang dikandung wanita itu datang kepadamu meminta ijin untuk sekedar tahu ayah kandungnya, bisakah kamu bayangkan perasaanmu saat itu?” tutur Mbak Umi dengan tenang dan tanpa memikirkan perasaanku.” Tapi semua itu karena kesalahannya sendiri yang tidak bisa menjaga diri sebagai wanita. Mengapa harus aku dan keluargaku yang menanggung akibatnya, Mbak?” aku maih tetap menentangnya. Mbak Umi tersenyum sambil berkata “Dik Sita tidak perlu memutuskannya sekarang. Pulanglah dulu, dan pikirkan nanti di rumah. Pikirkanlah baik-baik alasan Dik Sita mempertahankan Alex saat ini, apakah karena Dik Sita benar-benar mencintainya, ataukah karena Dik Sita terlanjur mempersiapkan pernikahannya, atau mungkin karena alasan-alasan lainnya. Apa pun nanti keputusan Dik Sita, ingatlah kebahagiaan hanya akan tercipta dari pernikahan yang diniatkan ibadah dan di dasari cinta yang tulus.” kata Mbak Umi mengakhiri percakapan kami.
Sepanjang hari aku tidak bisa mengabaikan pembicaraanku dengan mbak Umi. Semua kata-katanya memenuhi pikiranku. Aku merasa semua yang diucapkan Mbak Umi benar. Saat ini aku mempertahankan Alex semata-mata karena aku marah kepada Desi dan juga Alex sehingga aku tidak rela mereka bahagia. Terlintas dalam bayanganku seorang wanita yang merawat anaknya sendiri, sementara aku mempunyai suami yang telah mengkhianati kepercayaan dan kesetiaanku. Betapa bodohnya aku jika aku tetap menikah dengan Alex hanya karena alasan ini. Ya, aku akan ke Solo untuk menyampaikan keputusanku kepada keluarga Alex di Solo. Aku yakin mereka pasti bisa mengerti. “Tuhan, tolong aku untuk tidak menangis di hadapan mereka nanti. Beri aku kekuatan dan keberanian untuk menyampaikan keputusanku ini kepada keluargaku di sini. Beri kami kekuatan untuk menghadapi apa kata dunia kepada kami. Hapus rasa sakit, dendam, dan marahku ini dengan kedamaian juga kebahagiaan.” Doa-doa yang terlantun dalam hati ini perlahan-lahan memberi rasa damai dalam jiwaku.

No comments:

Post a Comment